Kunjungan asesor akreditasi SMK Gonzaga Mbay pada **19–20 November 2025** dapat dipandang bukan semata sebagai kegiatan administratif, melainkan sebuah **peristiwa eksistensial**, suatu ruang reflektif yang membuka kembali kesadaran sekolah tentang siapa dirinya (*das Sein*) dan siapa ia dipanggil untuk menjadi (*das Sollen*). Dalam terang **Perumpamaan Mina (Lukas 19:11-28)* dalam Injil, relasi antara realitas dan panggilan tersebut tampak semakin terang. Tuan yang mempercayakan mina kepada para hambanya menghadirkan metafora tentang **kepercayaan**, **kebebasan**, dan **tanggung jawab eksistensial** manusia.

Para hamba menerima jumlah mina yang sama, tetapi tidak semuanya menanggapinya dengan keberanian yang setara. Di sinilah corak eksistensial perumpamaan itu tampak: manusia selalu berada dalam persimpangan antara **ketakutan yang membeku** dan **keberanian untuk mengaktualkan diri**. *Das Sein* dalam perumpamaan itu adalah keadaan konkret: ada mina, ada hamba, ada ketakutan, ada potensi. Namun *das Sollen* hadir sebagai panggilan etis-teologis: manusia diminta untuk mengembangkan apa yang dipercayakan, keluar dari zona aman, mengambil risiko, dan menghidupi kebebasannya secara bertanggung jawab.

Kedatangan para asesor ke SMK Gonzaga Mbay menggemakan dinamika yang sama. Apa yang mereka lihat—dokumen, sarana prasarana, tata kelola, budaya sekolah, mutu pembelajaran, dan relasi kemanusiaan—adalah **das Sein**, realitas objektif sekolah sebagaimana adanya. Namun di balik itu, para asesor juga menyingkap **das Sollen**, yaitu idealitas yang seharusnya dituju oleh sekolah: mutu pendidikan yang humanis, nilai-nilai PKD (Persaudaraan, Kasih, Damai) yang benar-benar hidup, serta keberanian sekolah untuk terus berkembang dalam kesetiaan terhadap visi dan misinya.

 

 

Dalam perspektif eksistensialis, akreditasi tidak hanya menilai seberapa “lengkapnya berkas,” tetapi menguji **otentisitas keberadaan sekolah**. Ia menantang SMK Gonzaga Mbay: apakah sekolah ini sekadar beroperasi dalam rutinitas yang mekanis, atau justru bergerak secara sadar, reflektif, dan bertanggung jawab dalam memaknai tugas pendidikannya?

Seperti para hamba dalam Perumpamaan Mina, seluruh komunitas sekolah—guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pimpinan—hadir sebagai subjek yang mengelola “mina pendidikan” yang diamanatkan kepada mereka: kurikulum, kompetensi, karakter, kreativitas, dan seluruh potensi kemanusiaan yang menjadi harta sekolah. Para asesor hadir bagaikan tuan yang kembali untuk menilai bukan hanya “hasil akhir,” tetapi **keberanian eksistensial** sekolah dalam mengembangkan anugerah yang diterima: apakah ia berinovasi, berinisiatif, dan sungguh bertumbuh, atau justru menyembunyikan potensinya dalam ketakutan birokratis dan stagnasi.

Dialektika **das Sein – das Sollen** menemukan aktualisasinya di sini. *Das Sein* SMK Gonzaga Mbay diperlihatkan secara jujur, apa adanya. Tetapi *das Sollen*—keharusan moral, pedagogis, dan eklesial—menjadi bintang penuntun yang memanggil sekolah untuk terus memperbaiki diri, membangun budaya mutu, dan menghadirkan pendidikan yang memanusiakan manusia. Maka, akreditasi menjadi **momen kontemplatif**, tempat sekolah merenungkan kesetiaannya pada tugas perutusannya.

Dengan demikian, kunjungan asesor dua hari tersebut berubah menjadi sebuah **ziarah eksistensial**, di mana SMK Gonzaga Mbay belajar untuk hidup secara otentik: jujur pada kenyataan diri (*das Sein*), setia pada panggilan luhur pendidikannya (*das Sollen*), dan berani mengembangkan “mina” yang dititipkan kepadanya demi masa depan generasi muda Nagekeo.

 

*KITA ADA SEBAGAIMANA CARA KITA BERADA*
*SALAM PKD*