
(Manusia dapat disebut sebagai manusia jika ia dapat memanusiakan manusia)
Hari Guru ke-80 hadir bagaikan gema waktu yang memanggil kita kembali pada hakikat pendidikan: sebuah perjalanan menuju keterbukaan terhadap Ada. Dalam pandangan Heidegger, guru bukan sekadar pengajar, melainkan penjaga kebenaran yang tersingkap—mereka yang menyingkap tirai kelupaan manusia modern yang kerap terjebak dalam hiruk-pikuk teknologis dan kecepatan zaman. Guru-guru hebat Indonesia hari ini adalah para penjaga Lichtung, ruang terbuka tempat cahaya pengetahuan menyapa manusia yang sedang tumbuh. Di tengah zaman yang dirajut oleh data, algoritma, dan percepatan—zaman yang oleh Heidegger disebut sebagai bahaya Gestell, ketika manusia dipaksa melihat segalanya hanya sebagai sumber daya—guru hadir sebagai perlawanan sunyi yang luhur. Mereka memanggil peserta didik untuk kembali menjadi Dasein, berada yang mampu bertanya, merenung, dan memahami makna keberadaannya.
“Guru Hebat, Indonesia Hebat” bukanlah slogan semata, tetapi gerak eksistensial: guru mengajak murid untuk tidak sekadar menjadi mesin produktivitas, tetapi manusia yang berdiri dalam keheningan tanya, manusia yang mampu mendengar panggilan Ada. Di ruang kelas, guru memandu bukan hanya dengan materi, tetapi dengan kehadiran—presence—yang memampukan murid untuk menyadari dunia dan dirinya. Dalam tindakan kecil: memberi arahan, membimbing, menegur, menghibur, mendorong—guru sesungguhnya sedang mengajak murid keluar dari “kejatuhan” ke dalam rutinitas dan distraksi menuju pengenalan yang lebih asli tentang hidup. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi hebat bukan melalui tumpukan pengetahuan belaka, tetapi melalui kehadiran manusia-manusia yang telah belajar mengada secara autentik.
Pada Hari Guru ke-80 ini, kita merayakan mereka yang menjaga cahaya di tengah kabut zaman. Guru hebat adalah mereka yang membuat murid berani bertanya, berani mencari makna, berani menjadi dirinya sendiri. Mereka adalah penjaga jalan sunyi peradaban, yang melalui tangan-tangan sederhana dan kesetiaan yang tak terlihat, membentuk horizon masa depan bangsa. Dalam pandangan Heidegger, guru adalah penjaga kebenaran yang terungkap—dan di tangan merekalah Indonesia menemukan kehebatan yang sejati: kehebatan yang bertumbuh dari manusia yang sadar akan makna keberadaannya.
Si Tou Timou Tumou Tou menjadi epilog yang paling apik. Setiap guru dipanggil untuk menyadari esensi dan eksistensi dirinya sebagai agen pembentuk kesadaran, sebab dengan kesadaran seseorang menyadari dirinya ada sebagaimana manusia in potensial.




